Dalam kurun waktu lima hari, Densus 88 Antiteror Mabes Polri bergerak melakukan penangkapan para terduga teroris di Jawa Timur. Mulai dariSurabaya, Sidoarjo, Malang, Probolinggo sampai Mojokerto.
Penangkapan ini bisa dikatakan terbesar. Selama lima hari dari Minggu, tanggal 13 hingga Kamis tanggal 17, terduga teroris yang ditangkap diperkirakan lebih dari 15.
Para terduga teroris ini dicokok setelah insiden bom bunuh diri di gereja Santa Maria Tak Bercela (SMTB), GKI Diponegoro dan Gereja Pantekosta, Minggu (13/5) pagi.
Pelakunya masih satu keluarga, yakni DT melakukan bom bunuh diri di Gereja Pantekosta. Kemudian istrinya melakukan bom bunuh diri bersama dua anak perempuannya di GKI Diponogoro. Sedangkan anak lakinya, melakukan bom bunuh diri di SMTB.
Insiden tersebut langsung menarik perhatian Kapolri Jenderal Tito Karnavian, Kepala BIN Budi Gunawan, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto. Bahkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga datang meninjau lokasi ledakan bom.
Jokowi menyampaikan, teror bom di tiga titik lokasi Surabaya itu dianggap di luar batas kemanusiaan. Bahkan juga dikatakan biadab. Sebab bom bunuh diri menyebabkan orang tidak berdosa menjadi korban.
"Teror bom di Surabaya dilakukan terorisme ini sungguh biadab dan di luar batas kemanusiaan," kata Jokowi, Minggu (13/5).
Tidak berselang lama, malamnya terjadi ledakan bom di Rusunawa, Wonocolo Sepanjang, Kecamatan Taman, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Insiden tersebut menewaskan seorang pelaku teror bom diketahui berinisial AT, istri dan anaknya.
Baru keesokan harinya, Senin (14/5) sekitar pukul 09.10 WIB, bom bunuh diri terjadi lagi di kantor polisi, Mapolrestabes Surabaya. Ledakan bom ini menewaskan tersangka TM, istrinya dan kedua anak laki-laki.
Sedangkan anak perempuannya selamat, setelah dievakuasi Kasat Narkoba Polrestabes Surabaya AKBP Rony Faisal.
Kapolri Jenderal Tito Karnavian menyebutkan para pelaku masih satu jaringan. "Ketiga-tiganya masih satu bagian kelompok jaringan JAD (Jamaah Ansharut Daullah) wilayah Kota Surabaya," kata Tito Karnavian.
Dari rangkaian itulah, Densus 88 terus bergerak melakukan penangkapan terduga teroris yang menjadi kelompok jaringan JAD. Hingga kini diperkirakan sudah lebih dari 15 teroris yang ditangkap.
Baik itu terduga teroris ditangkap dalam kondisi tewas maupun hidup.
Lalu pergerakan JAD ini sebenarnya seperti apa dan bagaimana? Apakah ada kaitan dengan kelompok teroris Jamaah Ansharut Tauhid (JAT), NII (Negara Islam Indonesia), Majelis Islam Tauhid atau lebih dikenal dengan sebutan Mujahidin Indonesia Timur (MIT).
Kemudian Mujahidin Indonesia Barat (MIB), termasuk Jamaah Islamiyah (JI). Lalu apa hubungan dari semua kelompok teroris yang ada di Indonesia ini dengan ISIS (Islamic State Irak and Syria) Indonesia?.
Penelusuran merdeka.com, kelompok teroris yang pertama dikenal di kalangan mereka ini adalah JI. Ini setelah tim antiteror (sebelum ganti nama menjadi Densus 88) bentukan Mabes Polri melakukan perburuan terhadap pelaku bom bunuh diri di Bali tahun 2002.
Kemudian, berlanjut bom bunuh diri jilid II, yakni bom Bali di tahun 2005. Dari insiden ini, tim antiteror memburu dalang di balik dua aksi tersebut.
Akhirnya, jaringan terorisme mulai terungkap. Seperti Imam Samudra, Amrozi, Ali Imron, Noordin M Top, Dr. Azhari, dan beberapa kelompok teroris lain.
Dari penangkapan kelompok JI ini, sasaran mereka adalah orang asing. Yang artinya warga negara asing berinvestasi atau tinggal di Indonesia.
Untuk JI di Asia ada nama Dulmatin, Umar Patek dan Abu Thalib. Ketiganya bisa dikatakan sebagai amir atau pemimpin JI Asia. Sebab, ketiga sama-sama mempunyai keahlian, mulai dari berperang, merakit bom, melakukan kaderisasi dan perekrutan.
Lalu, apa hubungannya dengan kelompok teroris yang sekarang ini dikenal dengan JAD?
Dari penelusuran merdeka.com, sangat berbeda sekali. Kalau JAD ini lebih banyak ke permasalahan ideologi, dengan berperang melawan rakyat dan masyarakat juga budaya di negaranya sendiri, sedangkan JI sendiri berperang melawan orang asing atau dalam bahasa mereka sebut kafir.
Menurut sumber merdeka.com di internal JI, JAD ini muncul ketika para pemimpin JI sudah tidak ada yang bisa dijadikan panutan. Hal itu dimanfaatkan dari kelompok lain yang berseberangan dengan JI.
Akhirnya muncul kelompok teroris seperti NII, MIT, JAT dan JAD yang berbaiat ke ISIS. Kelompok teroris ini lebih banyak melakukan cuci otak ke masyarakat supaya bisa bergabung untuk berperang. Salah satu yang menjadi sasaran adalah aparat keamanan.
"JI itu tidak kenal ISIS, tidak tahu ISIS. Tapi tahu siapa orang di balik terbentuknya ISIS. Berbeda dengan ISIS. Kalau ISIS di Indonesia ini adalah NII, MIT, JAT dan JAD," ujar sumber tersebut.
"ISIS Indonesia ini tidak tahu seperti apa JI yang sebenarnya. Kalau dipertemukan akan terjadi perdebatan, termasuk bisa akan berperang. Karena JI sendiri sudah tidak ada, karena mulai sadar. Bisa-bisa akan beperang," tambah dia.
"Apalagi, dalam afiliasinya, JI ini organisasi tertinggi kalau di Indonesia hingga di Asia dari pada mereka (kelompok ISIS Indonesia). Makanya bagi kami, ISIS itu tidak ada dan tidak manusiawi," kata sumber tadi lagi.
Menurutnya, teror bom yang terjadi di Indonesia setelah banyak kombatan (sebutan pelaku bom bunuh diri) dari JI tidak ada, banyak dimanfaatkan kelompok lain. Mereka mengatasnamakan aksi-aksi teror dilakukan oleh sempalan JI. Padahal, lanjut sumber tersebut, tidak ada kaitannya dengan kelompok JI. Walaupun para pemimpin JI dan ISIS Indonesia dulunya sama-sama pernah melakukan kamp berlatih di Poso, Mindanao Filiphina dan Afghanistan.
"Kalau JAD ini adalah afiliasinya dari NII, MIT, JAT. Lebih banyak melakukan cuci otak, mengajak masyarakat untuk bergabung, untuk melakukan jihad," katanya.
Terpisah, sumber merdeka.com di JAD menuturkan, orang yang sudah terkena cuci otak diajak untuk bergabung berperang di Suriah.
Di sana, mereka mendapat pelatihan berperang, baik menggunakan senjata maupun tangan kosong. Kemudian merakit bom hingga cara meledakan. Usai dari Suriah, orang yang otaknya sudah dicuci oleh kelompok ISIS kemudian juga mendapatkan pelatihan di kamp.
Jika sudah mempunyai keahlian, baru mereka diminta untuk melakukan perekrutan dan memberikan pendanaan untuk kebutuhan.
"Rata-rata yang lebih banyak dicuci otak ini terpelajar, mempunyai keahlian. Terutama di bidang IT," katanya.
Sumber tadi mencontohkan, seperti pelaku terduga teroris bom bunuh diri di gereja Surabaya. Pelakunya yakni DT mempunyai keahlian dalam bidang IT, kemudian terduga teroris yang ditangkap di gedung Graha Pena juga mempunyai keahlian dalam bidang IT.
Selanjutnya pelaku bom bunuh diri di Mapolrestabes Surabaya, dan perakit bom di Rusunawa, Woncolo Sepanjang juga mempunyai keahlian IT.
Alasan dari kelompok JAD, karena dengan keahlian IT, maka akan bisa melakukan pendeteksian, selangkah lebih maju untuk berperang. Di samping itu, untuk memanfaatkan teknologi di era modern.
"Kalau sudah dilakukan cuci otak, ada yang diberi keahlian cara merakit bom, dengan melihat tutorial di media sosial, untuk yang instan. Kalau yang belajar tidak modern, maka akan diajarkan di dalam kamp pelatihan," ucapnya.
Tidak hanya itu, dengan merektrut seorang IT, nantinya saat orang yang sudah menjadi 'pengantin' (bom bunuh diri) beraksi sesuai dengan sasaran, akan diambil gambarnya oleh orang yang sudah ditunjuk, turun di lokasi dekat lokasi kejadian setelah itu disebarkan ke media sosial.
"Iya seperti membuat laporan gitu. Apa yang dilakukan pengantin. Dengan bom bunuh diri di Indonesia itu berhasil," ujar dia.
Menurut dia, hingga kini anggota JAD di Jawa Timur banyak. Jumlahnya diperkirakan bisa lebih dari puluhan hingga ratusan. Perkiraan ini mengacu pada banyak terduga teroris yang ditangkap usai peristiwa bom bunuh diri.
"Yang paling banyak itu di Surabaya. Kebetulan, di Jawa Timur ini dekat dengan rutan atau lapas berpenghuni para narapidana teroris. Jadi keberadaan napi teroris di dalam rutan ini dimanfaatkan untuk menjalin hubungan dengan para auliya," tuturnya.
"Makanya apa yang dilakukan Densus itu bagus. Bergerak cepat, melakukan penangkapan, agar tidak melakukan bom bunuh diri di daerah," katanya.
Seperti di Probolinggo, teroris yang ditangkap Densus 88 ini mempunyai peran dalam memetakan situasi yang akan menjadi titik sasaran bom bunuh diri. Serta bagian logistik juga memberikan informasi ke anggota lain.
"Tapi, rata-rata yang ditangkap Densus 88 ini kalau dalam bahasa kami pengantin. Para pengantin ini dibawa DT. Karena DT ini auliya yang dipercaya, meski bukan sebagai amir atau ketua JAD," ujar.
No comments:
Post a Comment