Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI Fritz Edward Siregar mengemukakan pendapatnya mengenai rencana Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang melarang mantan narapidana kasus korupsi menjadi calon anggota legislatif dalam Peraturan KPU tentang pencalonan. Menurut dia, Peraturan KPU tidak dapat membatasi hak seseorang.
Terkecuali adanya pembaruan undang-undang atau putusan pengadilan. "Kami kurang sependapat apabila misalnya pembatasan pencalonan mantan narapidana tersebut melalui sebuah peraturan KPU. Kalau mau silakan ubah UU.
Itu akan jauh lebih elegan," kata dia di Gedung Banwaslu, Sabtu (5/5/2018). Fritz menjelaskan, Pasal 28 J ayat 2 UUD 1945 telah mengatur secara jelas mengenai hak seseorang.
"Hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis," kata dia, mengutip isi Undang-Undang tersebut.
Terlebih lagi, adanya putusan pertama Mahkamah Konstitusi putusan nomor 51 tahun 2016 dan putusan 42 tahun 2015 telah ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi.
Meskipun dalam konteksnya Pilkada. "Bahwa seseorang yang telah menjalankan pidana korupsi dan kemudian ingin mencalonkan kembali mereka dapat untuk menjadi calon. Asal melakukan pengakuan di depan umum, masyarakat tahu dia telah pernah dipidana oleh tindak pidana korupsi," ujar dia.
Dia melanjutkan, "Kalau melihat putusan Mahkamah Konstitusi nomor 11 nomor 17 tahun 2003 tertanggal 24 Februari 2004. Di mana Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa pembatasan hak pilih juga diperbolehkan apabila hasil tersebut dicabut dan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum serta bersifat lebih luas dan tidak kolektif."
Merujuk pada aturan itu, kata dia, semua warga negara memiliki hak yang sama dan tidak bisa dikurangi jikalau belum ada undang-undang, atau putusan pengadilan.
"Putusan pengadilan itu harus bersifat individu dan konkrit selama tidak ada kedua hal ini maka itu sebuah hak tidak dapat dihilangkan," ungkap dia. Sehingga, Peraturan KPU Nomor 7 Tahun 2017 tidak dapat menjadi acuan untuk sebuah instrumen mengurangi hak berpolitik seseorang. Penjelasan ini, kata Fritz, bukan berarti tidak mendukung gagasan KPU dalam menolak bakal caleg yang pernah tersangkut kasus korupsi.
Ia juga sepakat hanya saja, KPU bukanlah subjek yang mampu untuk pembatasan hak seseorang. "Kami sangat mendukung ide daripada temen-temen ICW yang menginginkan calon yang bersih, calon yang punya integritas yang dapat menjadi anggota Calon Legislatif baik di kabupaten, kota, provinsi maupun DPR RI," ujar dia.
Dia lebih setuju jika mekanisme bermasyarakat yang menentukan layak tidaknya seseorang menjadi caleg. "Biarlah masyarakat yang memilih," kata dia. Sementara itu, anggota Ombudsman Ninik Rahayu menilai larangan eks narapidana korupsi mendaftar di Pemilihan Legislatif (Pileg) yang tertuang Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) berpontensi menimbulkan keberatan. Alasanya karena PKPU tidak selaras dengan produk Undang-Undang yang ada.
Makanya, Ninik meminta segera disesuaikan. "Kalau tidak segera diharmonisasikan akan ada potensi keberatan dari pendaftar calon. Kan ini ada perbedaan yang tajam antara uu dan PKPU," kata dia di Bawaslu, Sabtu (5/5/2018). Ninik menjelaskan, PKPU dapat mengugurkan caleg yang pernah tersandung kasus korupsi.
Padahal secara undang-undang tidak demikian. "Saat mau mendaftar bisa dianggap tidak memenuhi syarat karena dalam PKPU caleg tersangka tidak boleh. Tapi UUnya boleh," ungkap dia. Itu, kata dia bisa menjadi celah bagi para caleg melaporkan KPU ke Ombusman. Yang terjadi akhinya KPU bisa dianggap melakukan mal administrasi.
"Kalau KPU tidak memberikan tanggapan atas gugatan masyarakat, mereka akan ke ombudsman karena menganggap langkah terakhirnya," ujar dia. "Ombudsman nanti akan melihat di mana letak kpu kenapa tak meloloskan. Termasuk ombudsman selain melakukan investigasi lalu klarifikasi dan menghadirkan ahli.
Nanti hasil dari klarifikasi investigasi dan mediasi juga konsiliasi yang kami lakukan, kemudian kami beri saran pada kpu soal laporan akhir hasil pemeriksaan. Kalau tidak ditindaklanjuti dalam 30 hari akan berakibat pada rekomendasi," papar dia. Karenanya, perlu ada harmonisasi antara Undang-Undang dan PKPU. Salah satunya dengan merevisi Undang-Undang saat ini.
"Lakukan perubahan sesuai UU. Bicara UU KPU tak bisa sendiri. Ada DPR, Pemerintah, juga siapa lembaga yang berwenang. Maka duduk bareng dpr denga pemerintah. Jadi KPU enggak bisa sendiri," tandas dia.
No comments:
Post a Comment